Dialogku dengan Empunya Jagat
Created by : gyan pramesty
( terantuk oleh apa yang menggugat sukma aku berdiam diri, menuggu apa yang akan di alirkan sungai takdir kepada hidupku )
Aku :
Tuhan, aku bingung. Kabar itu terlalu samar dan aku terlambat mendengarnya. Suara-suara negatif semakin mengaburkan jalanku. Sekarang aku tersesat, Tuhan... mataku semakin tidak mengenali hitam dan putih. Hanya abu-abu yang menipu.
Tuhan :
Hitam dan putih hanya sebuah legitimasi tersembunyi yang eksistensinya acap kali diburamkan oleh ambisi dan keegoisan. Butakan matamu dan tajamkan mata batinmu, hambaku.
Aku :
Mereka menghalangiku. Benteng-benteng yang mereka bangun laksana lautan darah yang tak sanggup ku gapai tepinya. Laksana gurun bara yang tak sejengkalpun tersentuh oleh ujung kuku-ku. Aku kerdil di mata dunia. Jemari mungilku tak sanggup meraih fakta, Tuhan.
Tuhan :
Created by : gyan pramesty
( terantuk oleh apa yang menggugat sukma aku berdiam diri, menuggu apa yang akan di alirkan sungai takdir kepada hidupku )
Aku :
Tuhan, aku bingung. Kabar itu terlalu samar dan aku terlambat mendengarnya. Suara-suara negatif semakin mengaburkan jalanku. Sekarang aku tersesat, Tuhan... mataku semakin tidak mengenali hitam dan putih. Hanya abu-abu yang menipu.
Tuhan :
Hitam dan putih hanya sebuah legitimasi tersembunyi yang eksistensinya acap kali diburamkan oleh ambisi dan keegoisan. Butakan matamu dan tajamkan mata batinmu, hambaku.
Aku :
Mereka menghalangiku. Benteng-benteng yang mereka bangun laksana lautan darah yang tak sanggup ku gapai tepinya. Laksana gurun bara yang tak sejengkalpun tersentuh oleh ujung kuku-ku. Aku kerdil di mata dunia. Jemari mungilku tak sanggup meraih fakta, Tuhan.
Tuhan :
Ingatlah satuhal sebelum kau menjastifikasi dirimu serendah itu, bahwasanya tidak ada fakta yang lebih benar dari apa yang ingin kau dengar. Kalian, para hamba, terlalu sibuk bermain dengan pusaran logika sehingga sering kali kalian melupakan hal-hal yang tidak bisa diuraikan hanya dengan bermodalkan nalar. Sejarah terlalu luas untuk kalian gugat. Terlalu lama berkutat dengan mana yang benar dan mana yang salah.
Aku hanya ingin tau. Aku tidak ingin mengorbankan keruncingan pemikiranku kepada pihak-pihak yang jelas sekali membeciku. Aku ingin berdiri di kakiku sendiri.
Tuhan :
Lalu apa yang akan kau lakukan setelah menyadari ketidak sanggupanmu ? Tenggelam dalam lautan ketidak-tahuan ???
Aku :
Entahlah.
Tuhan :
Fakta bukanlah akhir, melainkan sebuah awal dari datangnya sebuah tanggung jawab yang lebih besar. Jika kau mengabdikan seluruh hidupmu dalam pencarian sebuah “fakta” kesia-siaanlah yang kelak menantimu di penghujung hari. Hiduplah untuk kebenaran. Jangan biarkan keego-sentrisan membelenggu nurani. Masalah diciptakan bukan untuk diperdebatkan keabsahan dan ketidak-absahannya tetapi untuk mendewasakan hati dan jiwa yang belum terjamah pendewasaan.
Aku :
Apakah Artinya aku belum sanggup untuk menerima tanggung jawab dari fakta yang aku inginkan ????
Tuhan :
Kau belum sanggup memenjarakan kasat matamu. Aku khawatir fakta yang kau inginkan terlalu besar, terlalu sanggup untuk melahap nuranimu sendiri.
Aku :
Ribuan tahun lalu hal itu terjadi. Peristiwa, tragedi, pergolakan, merangkai sejarah. Aku selalu meragukan apa yang diterima indraku, karena semua berawal dari mata rantai yang salah. Kekisruhan di masa lampau terus berkembang, laksana sebuah bulir salju yang menyeret apa yang dilaluinya. Mentransformasikan diri menjadi lebih besar dan mematikan. Siapapun yang berusaha menyentuhnya akan dibekukan keadaan sebelum keinginannya tercapai.
Aku lahir di waktu dan tempat yang tidak tepat. Mungkin akan lebih memuaskan nafsu keingintahuanku jika aku lahir tepat di masa penyaliban Isa Almasih. Sehingga aku dapat melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, mendengarnya dengan telingaku sendiri dan merasaknnya dengan hatiku sendiri. Bukan melalui mata si penyembunyi fakta, bukan melalui telinga si penyembunyi fakta, dan bukan melalui hati si penyembuni fakta. Sehingga holly grail, preure the sion, knigth templar dan Maria Magdalena tidaklah menjadi perihal yang pelik untukku.
Tuhan :
Begitukah harapanmu ?
Aku :
Benar.
Tuhan :
Mengapa kau tidak berharap diciptakan menjadi Isa Almasih? Bukankah dia pelaku sejarah yang sebenarnya? Atau menjadi Maria Magdallena sebagai tokoh sentral perdebatan kalian selama ini? Dan mengapa kau tidak berharap menjadi Aku? Karena Akulah pangkal dari penciptaan sejarah-sejarah tersebut? Kau memanggil-Ku “TUHAN” tetapi tingkah lakumu tidak mencerminkan penghambaanmu kepada-Ku.
Aku :
............
Tuhan :
Bukankah sudah Ku peringatkan, betapa berbahayanya kekuatan nalarmu. Pelafalanmu tentang apa yang kau inginkan menjadi bukti ketepatan firman-Ku. Ketahuilah, penciptaan kalian tidaklah menggunakan metode probabilitas, tidak pun dikemas dengan kesia-siaan bentuk. Kalian adalah simbol kesempurnaan. Aku lebih memahami makna sebuah ketepatan. Waktu,tempat. Semuanya kuasa-Ku sebagai determiner tunggal.
Dari mana kau mengetahui sejarah yang kau terima hari ini adal berasal dari mata rantai yang salah? Jangan menuhankan benda yang tak ber-Tuhan. Mata, telinga, mulut, kulit, lidah, otak, hati hanya sebuah alat yang wajib hukumnya untuk kalian kelola. Memiliki kemampuan yang lebih untuk mengelolanya tidak lantas menjadikanmu sombong dan merasa apa yang ditangkap indramu paling benar. Sadarlah oleh kekuatan lain yang takan sanggup kau uraikan.
Aku :
Maafkan hamba-Mu yang sudah begitu lancang, Tuhan.
Tuhan :
Butir pasir yang berterbangan memenuhi jagat raya tidaklah layak untuk diabaikan. Pertajam mata batinmu, lihatlah apa yang tak ditangkap matamu. Sejarah bukan melulu mengenai kisaran problematika dan jawabannya, tetapi ada makna lain yang terkandung dalam masalah yang tengah kau coba uraikan saat ini. Biarlah mengalir. Biarkan roda waktu yang membawamu menemuinya. Kau akan terkejut betapa indahnya kelak.
( hembusan angin yang entah dari mana asalnya mengiringi kembalinya kesadaran kepada tempatnya bersarang. Aku membuka mataku dan menemuka tubuhku tengah berbaring di atas sehelai kain putih berumbai coklat. Kilas balik mimpi indah itu terus terngiang di benakku. Bukan Tuhan yang lamat-lamat masih ku dengar suaranya tetapi sisi hitam dan putihku yang tengah berkecamuk. Aku lega. Dan terdiam.)
Lalu apa yang akan kau lakukan setelah menyadari ketidak sanggupanmu ? Tenggelam dalam lautan ketidak-tahuan ???
Aku :
Entahlah.
Tuhan :
Fakta bukanlah akhir, melainkan sebuah awal dari datangnya sebuah tanggung jawab yang lebih besar. Jika kau mengabdikan seluruh hidupmu dalam pencarian sebuah “fakta” kesia-siaanlah yang kelak menantimu di penghujung hari. Hiduplah untuk kebenaran. Jangan biarkan keego-sentrisan membelenggu nurani. Masalah diciptakan bukan untuk diperdebatkan keabsahan dan ketidak-absahannya tetapi untuk mendewasakan hati dan jiwa yang belum terjamah pendewasaan.
Aku :
Apakah Artinya aku belum sanggup untuk menerima tanggung jawab dari fakta yang aku inginkan ????
Tuhan :
Kau belum sanggup memenjarakan kasat matamu. Aku khawatir fakta yang kau inginkan terlalu besar, terlalu sanggup untuk melahap nuranimu sendiri.
Aku :
Ribuan tahun lalu hal itu terjadi. Peristiwa, tragedi, pergolakan, merangkai sejarah. Aku selalu meragukan apa yang diterima indraku, karena semua berawal dari mata rantai yang salah. Kekisruhan di masa lampau terus berkembang, laksana sebuah bulir salju yang menyeret apa yang dilaluinya. Mentransformasikan diri menjadi lebih besar dan mematikan. Siapapun yang berusaha menyentuhnya akan dibekukan keadaan sebelum keinginannya tercapai.
Aku lahir di waktu dan tempat yang tidak tepat. Mungkin akan lebih memuaskan nafsu keingintahuanku jika aku lahir tepat di masa penyaliban Isa Almasih. Sehingga aku dapat melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, mendengarnya dengan telingaku sendiri dan merasaknnya dengan hatiku sendiri. Bukan melalui mata si penyembunyi fakta, bukan melalui telinga si penyembunyi fakta, dan bukan melalui hati si penyembuni fakta. Sehingga holly grail, preure the sion, knigth templar dan Maria Magdalena tidaklah menjadi perihal yang pelik untukku.
Tuhan :
Begitukah harapanmu ?
Aku :
Benar.
Tuhan :
Mengapa kau tidak berharap diciptakan menjadi Isa Almasih? Bukankah dia pelaku sejarah yang sebenarnya? Atau menjadi Maria Magdallena sebagai tokoh sentral perdebatan kalian selama ini? Dan mengapa kau tidak berharap menjadi Aku? Karena Akulah pangkal dari penciptaan sejarah-sejarah tersebut? Kau memanggil-Ku “TUHAN” tetapi tingkah lakumu tidak mencerminkan penghambaanmu kepada-Ku.
Aku :
............
Tuhan :
Bukankah sudah Ku peringatkan, betapa berbahayanya kekuatan nalarmu. Pelafalanmu tentang apa yang kau inginkan menjadi bukti ketepatan firman-Ku. Ketahuilah, penciptaan kalian tidaklah menggunakan metode probabilitas, tidak pun dikemas dengan kesia-siaan bentuk. Kalian adalah simbol kesempurnaan. Aku lebih memahami makna sebuah ketepatan. Waktu,tempat. Semuanya kuasa-Ku sebagai determiner tunggal.
Dari mana kau mengetahui sejarah yang kau terima hari ini adal berasal dari mata rantai yang salah? Jangan menuhankan benda yang tak ber-Tuhan. Mata, telinga, mulut, kulit, lidah, otak, hati hanya sebuah alat yang wajib hukumnya untuk kalian kelola. Memiliki kemampuan yang lebih untuk mengelolanya tidak lantas menjadikanmu sombong dan merasa apa yang ditangkap indramu paling benar. Sadarlah oleh kekuatan lain yang takan sanggup kau uraikan.
Aku :
Maafkan hamba-Mu yang sudah begitu lancang, Tuhan.
Tuhan :
Butir pasir yang berterbangan memenuhi jagat raya tidaklah layak untuk diabaikan. Pertajam mata batinmu, lihatlah apa yang tak ditangkap matamu. Sejarah bukan melulu mengenai kisaran problematika dan jawabannya, tetapi ada makna lain yang terkandung dalam masalah yang tengah kau coba uraikan saat ini. Biarlah mengalir. Biarkan roda waktu yang membawamu menemuinya. Kau akan terkejut betapa indahnya kelak.
( hembusan angin yang entah dari mana asalnya mengiringi kembalinya kesadaran kepada tempatnya bersarang. Aku membuka mataku dan menemuka tubuhku tengah berbaring di atas sehelai kain putih berumbai coklat. Kilas balik mimpi indah itu terus terngiang di benakku. Bukan Tuhan yang lamat-lamat masih ku dengar suaranya tetapi sisi hitam dan putihku yang tengah berkecamuk. Aku lega. Dan terdiam.)
0 komentar:
Posting Komentar